Senin, 15 Desember 2014

Paradigma Integrasi dan Interkoneksi Dalam Perspektif Filsafat Islam

Ketika penulis mendapatkan tugas sebagai Direktur Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 2002, konsep integrasi dan interkoneksi menjadi wacana yang aktual bagi kalangan akademisi di IAIN Sunan Kalijaga. Sebagai direktur ketika itu, maka penulis meresponnya dengan mengubah/menambah kurikulum yang ada, dengan menambah tiga mata kuliah yang dipandang sangat penting waktu itu, yaitu 1) metodologi penelitian filsafat, agama dan sosial, 2) agama, filsafat dan sains, dan 3) isu-isu global. Mata kuliah tersebut diajarkan dengan pendekatan intregratif dan interkonektif.
Ketiga mata kuliah ini menjadi bagian utama untuk melakukan integrasi dan interkoneksi yang dimulai dengan menata metodologinya terlebih dahulu, dengan menyatukan mata kuliah metodologi penelitian filsafat, agama dan sosial, yang diajarkan oleh masing-masing ahli di bidangnya, dengan harapan integrasi dan interkoneksi itu bisa dikembangkan dengan landasan metodologi yang mantap. Pada hakikatnya konsep integrasi dan interkoneksi harus dimulai dari integrasi dan interkoneksi metodologinya. Tanpa dasar metodologi yang kuat, maka integrasi dan interkoneksi hanya akan menjadi hal mengawang-awang, tidak jelas dan tidak pernah bisa membumi.
Kemudian mata kuliah agama, budaya dan sains diajarkan dengan tujuan untuk melihat sesuatu masalah dari pendekatan lintas agama, budaya dan sains, sehingga integrasi dan interkoneksi dengan sendirinya akan terbentuk dan terbawa dalam melihat setiap masalah kehidupan dan kemanusiaan. Matakuliah ini sangat penting, karena mata kuliah ini diharapkan dapat mengembangkan paradigma integrasi dan interkoneksi melalui pembentukan tradisi akademik yang berdimensi lintas agama, lintas budaya dan lintas sains, dan ini menjadi tuntutan menjawab problematika kontemporer yang tidak bisa didekati hanya dengan pendekatan tunggal keilmuan. Masalah kemiskinan, kesejahteraan dan perdamian tidak bisa dipecahkan dengan pendekatan tunggal, baik ekonomi semata-mata, demikian juga pendekatan tunggal sosial, politik, budaya mau pun agama.
Selanjutnya mata kuliah isu-isu global ditambahkan sebagai aktualisasi paradigma integrasi dan interkoneksi secara praksis untuk memahami, mendalami dan menganalisis problematika global sebagai fenomena aktual masa kini yang sudah merupakan fenomena global, yang mau tidak mau, pendekatan integrasi dan interkoneksi itu mutlak dipergunakan. Tanpa integrasi dan interkoneksi keilmuan, kita tidak mungkin dapat memahami dan memecahkan masalah-masalah global. Penulis sendiri waktu itu mengajar aspek budaya dalam sains dan agama, bersama dengan Prof Amin Abdulah aspek agama dan Prof Choiril Anwar dari Universitas Gadjah Mada aspek sains, dan penulis pada aspek kebudayaan.
FILSAFAT ISLAM SEBAGAI METODA
Menurut pandangan penulis, filsafat Islam mempunyai potensi aktual untuk mengintegrasikan dan menginterkoneksikan studi-studi keislaman secara praksis. Tanpa dasar filsafat Islam, rasanya sulit untuk dapat mengintegrasikan dan menginterkoneksikan ilmu-ilmu keislaman. Dalam tahap ini, filsafat Islam harus diletakkan sebagai metodologi berpikir, bukan diletakkan pada kajian tokoh-tokohnya dan pemikirannya saja, atau hanya fokus pada tema-tema filsafat saja serta periodisasinya.
Pada hakikatnya setiap studi keislaman, selalu mempunyai dasar filsafatnya sendiri-sendiri. Dalam sejarah perkembangan ilmu, filsafat adalah induk dari setiap ilmu pengetahuan. Karena itu setiap cabang ilmu sesungguhnya mempunyai landasan filsafatnya sendiri sendiri. Ilmu hukum dengan filsafat hukumnya, demikian juga filsafat eknonomi untuk ilmu ekonomi, fisafat politik untuk ilmu politik, juga arsitektur dengan filsafat arsitekturnya dan seterusnya.
Filsafat Islam sebagai metoda, akan mengintegrasikan dan menginterkoneksikan studi-studi keislaman dalam suatu world view yang multidimensional. Dalam buku “Filsafat Islam Sunah Nabi Dalam Berpikir” penulis menyusun cara berpikir Islam yang dikonstruk dari tradisi berpikir Nabi sendiri dalam menjawab berbagai kasus. Dalam sejarah kenabian, terlihat bahwa para nabi dalam menjawab suatu masalah,tidak selamanya bergantung pada wahyu. Demikina juga yang dialami nabi Muhammad Saw., terutama dalam tradisi berpikir beliau sebelum usia empat puluh tahun, atau sebelum beliau menerima wahyu, sedangkan setelah usia empat puluh tahun itu berada dalam konstruksi dialektik antara aqal dan wahyu. Alquran 62:2 dijelaskan yang artinya sebagai berikut : “Dia (Allah) yang mengutus di antara orang-orang ummi, seorang Rasul dari kalangan mereka, yang menjelaskan kepada mereka ayat-ayatNya, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya adalah dalam kesesatan yang nyata”.
Dalam pandangan penulis seorang Rasul itu mengajarkan Kitab yaitu turunnya wahyu yang diterima dari Tuhannya yang terjadi secara bertahap sesuai dengan tahapan kehidupan. Sedangkan hikmah, bisa diartikan sebagai penjelasan dan penjabaran yang bisa dimengerti umatnya tentang hakikat kebenaran wahyu yang diterimanya. Dalam kenabian Muhammad Saw., ada yang menyebut hikmah sebagai al hadits. Hikmah juga bisa diartikan sebagai pengetahuan yang mendalam, suatu kearifan yang terdapat di balik realitas, kejadian dan peristiwa. Dalam ungkapan sehari-hari, ketika seseorang dalam kehidupannya menghadapi suatu kejadian, peristiwa, musibah atau ujian, seringkali dikatakan untuk bisa mengambil hikmahnya.
Karena itu, hikmah bisa diartikan sebagai pengetahuan yang mendalam, suatu kearifan yang diperoleh dari balik pemahaman terhadap realitas, suatu wisdom yang lahir dari pemikiran seseorang yang mendalam dalam perjalanan hidupnya. Dengan kata lain, maka hikmah sesungguhnya dapat diartikan sebagai pengetahuan filsafat, yaitu pencapaian atas kebenaran melalui pemikiran radikal terhadap realitas. Dalam konteks kerasulan yang tugasnya mengajarkan kitab dan hikmah, maka pengajaran tentang hikmah ini bisa dipahami sebagai filsafat, karena seorang rasul dalam sejarahnya juga pengajar tentang hakikat kehidupan dan makna hidup bagi manusia, yang sebenarnya menjadi inti dari flsafat.
Alquran 2:269 dijelaskan yang artinya “ Allah anugerahkan hikmah kepada siapa yang dikehendakiNya dan barang siapa yang medapatkannya, ia benar-benar telah dianugerahi suatu kebaikan yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah (ulul albab) yang dapat mengerti”. Dalam konteks ini, maka seorang nabi adalah juga seorang yang mendapat pengetahuan hikmah, yang menjadi inti dari filsafat. Seorang nabi juga bisa disebut seorang filosuf sebagai pengajar himah atau filsafat yaitu pengajar hakikat kebenaran segala sesuatu dalam hidup dan menjalaninya.
Untuk mampu mengajarkan kitab yang dikembangkan dalamsuatu hikmah, maka seorang nabi pastinya mempunyai suatu model berpikir tertentu yang memungkinkannya menembus realitas dan menemukan hakikat kebenaran di balik realitas atau kejadian. Model berpikir tersebut dipakai untuk memahami dan mendalami kebenaran melalui integrasi “aql” dan “qalb”.
Dalam Alquran 22: 46 menjelaskan yang artinya “maka tidak pernahkah mereka berjalan di muka bumi, sehingga hati mereka dapat memahami, telinga dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada”.
Selanjutnya dalam Alquran 33 : 21 dijelaskan yang artinya “sungguh pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagi kamu, bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan pada hari kemudian, serta mereka banyak mengingat Allah. Keteladanan nabi yang utama bagi penulis bukanlah pada perbuatannya, seperti cara makan dan memelihara jenggot saja, tetapi keteladanan beliau pada pemikirannya, karena perbuatan adalah tindak lanjut dari pemikiran, pemikiran adalah ibu kandung perbuatan. Bahkan dalam prinsip etika, perbuatan yang tidak disertai pemikiran adalah pemikiran yang tidak disadari, maka perbuatan itu tidak termasuk ranah etika, seperti perbuatan orang yang kehilangan akal sehatnya atau perbuatan orang gila.
Paradigma integratif dan interkonektif sesungguhnya dapat dimungkinkan dengan integrasinya “aql” dan “qalb” sebagai suatu metoda berpikir untuk memahami realitas. Pendekatan integratif adalah pendekatan ulul’albab yang secara jelas digambarkan Alquran 3: 190-191 yang artinya sebagai berikut : “sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang adalah tanda-tanda bagi ulul albab, yaitu mereka yang mengingat (zikir/qalb) tentang Allah dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring dan memikirkan (aql, rasio) tentang penciptaan langit dan bumi ; ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia ; Mahasuci Engkau, maka hindarkanlah kami dari siksaan neraka.
Penjelasan Alquran di atas bisa dimengerti akan adanya proses rasional transcendental di mana 1) mengingat (zikir pada kekuasaan Allah) mendahului 2) berpikir untuk memahami dan mendalami semua ciptaanNya di langit dan di bumi,3) dan mencapai proses transendensi dengan 4) kesadaran tidak akan menyia-nyiakan semua ciptaanNya dan aktualitas perbuatan yang terhindar dari siksaan neraka. Ini menjadi metoda berpikir integratif dan interkonektif yang berada dalam jalan hidup seseorang untuk selalu mensyukuri dan menghindari siksaan neraka.
Karena itu, bagi penulis makna surat al fatihah yang dibaca setiap kali oleh seorang muslim ketika menjalankan solat, terutama saat membaca Alquran 1: 6-7 yang dijelaskan artinya : “tunjukkan kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan mereka yang dimurkai dan bukan pula mereka yang tersesat. Maka jalan lurus itu dapat dimengerti sebagai metoda berpikir yang secara konsisten dan lurus, kemudian diaktualisasikan dalam perbuatan yang memberikan manfaat bagi kehidupan bersama, akan menjadi nikmat, bukan laknat apalagi tersesat.
Filsafat Islam sebagai metoda berpikir menjadi dasar bagi peradigma integrative interkonektif, yang secara sistemik menyatukan antara aql, qalb, wahyu dan realitas menjadi suatu metodologi berpikir yang bersifat rasional transcendental, dan selalu berdimensi majemuk. Karena itu, filsafat Islam sebagai metode berpikir seperti yang dijelaskan di atas, akan menjadi dasar dalam merumuskan filsafat dalam studi-studi keislaman. Dalam kaitan ini, maka seharusnya dalam setiap fakultas diajarkan filsafat Islam sesuai dengan bidang kajiannya masing masing, seperti filsafat hukum Islam di fakultas syari’ah, filsafat pendidikan Islam di fakultas tarbiyah, filsafat dakwah Islam di fakultas dakwah, filsafat eknonomi Islam di fakultas ekonomi dan bisnis dan seterusnya.
INTEGRASI DAN INTERKONEKSI SEBAGAI METODOLOGI DALAM STUDI KEISLAMAN
Dalam sebuah forum dialog di TVRI Yogyakarta, penulis selaku rektor UIN Sunan Kalijaga ditanya oleh seorang pemirsa, bahwa berubahnya IAIN menjadi UIN adalah suatu pendangkalan ilmu agama. Pertanyaan mereka itu didasarkan pada fenomena bahwa penguasaan ilmu agama pada alumni UIN lebih rendah daripada alumni IAIN dulu. Pertanyaan itu juga pernah menjadi perdebatan yang panjang di kalangan akademisi IAIN ketika kita akan berubah menjadi UIN.
Di samping itu, pandangan bahwa ilmu keislaman adalah ilmu agama masih tetap kuat di kalangan masyarakat Islam sendiri, sehingga ilmu keislaman bagi mereka adalah ilmu-ilmu agama seperti yang ada di IAIN dulu, yaitu ushuluddin, dakwah, syariah, adab dan terbiyah. Sedangkan ilmu-ilmu di luar studi agama adalah bukan ilmu keislaman. Dengan kata lain, mereka sebenarnya masih berpandangan bahwa Islam adalah agama, bukan kebudayaan, sehinga sains dan teknologi sebagai bagian dari kebudayaan, tidaklah termasuk kajian keislaman.
Karena itu, paradigm integratif dan interkonektif menjadi sangat penting dan fundamental dalam merumuskan kajian-kajian keislaman, di mana posisi Islam sebagai nilai-nilai yang mendasar dan mengikat setiap kajian keislaman yang ada dalam berbagai aspek kebudayaan, baik kebudayaan sebagai sistem nilai, produk maupun eksistensi manusia dalam perjalanan hidupnya yang kompleks.
Dalam pandangan penulis, yang paling sulit dilakukan dalam usaha melakukan integrasi dan interkoneksi studi-studi keislaman adalah bagaimana merumuskan metodologinya. Upaya integrasi dan interkoneksi yang banyak dilakukan sekarang ini adalah mengintegrasikan dan menginterkoneksikan materi kajian dari studi studi keislaman dalam kajian ilmu-ilmu umum atau sebaliknya, seperti mengintegrasikan materi kajian kajian Islam, terutama Alquran dan Alhadits diintegrasikan dan diinterkoneksikan dengan bidang kajian-kajian ilmu-ilmu umum.
Konsep pohon ilmu ilmu keislaman (Prof Imam Suprayogo) serta konsep jaring labah-labah ilmu ilmu keislaman ( Prof Amin Abdullah) menurut pandangan penulis yang sempit ini, rasanya belum sampai merumuskan pada metodologinya. Integrasi dan interkoneksi model ini, seringkali diimplementasikan dengan melakukan integrasi infrastruktur fisik dan non fisik, termasuk material dan bahan ajar dalam pengembangan keilmuan dalam suatu konsep universitas.
Dalam pandangan Islam, sebenarnya tidak mengenal dualisme pendidikan dan dikhotomi keilmuan. Pendidikan harus dilakukan secara integratif, sehingga keragaman ilmu bisa saling menyapa dan menyatu dalam memecahkan persoalan kemanusiaan yang makin kompleks. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa masalah masalah kemanusiaan, seperti kesejahteraan, kemiskinan, kebahagiaan, keamanan dan perdamaian, tidaklah bisa dipecahkan dengan pendekatan tunggal keilmuan semata mata. Karena itu, pendekatan integratif dan interkonektif adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan yang semakin global ini.
Jika kita akan menempatkan integrasi dan interkoneksi sebagai suatu metodologi, maka dalam setiap jenjang pendidikan di UIN Suka baik S1, S2 maupun S3nya, bagaimana jabaran dalam kurikulumnya. Demikian juga halnya dalam berbagai fakultas yang ada, bagaimana integrasi dan interkoneksi sebagai metodologi dapat diimplementasi-kan dalam berbagai fakultas, sehingga sehingga masing-masing keilmuan yang dikembangkan oleh setiap fakultas berada dalam ikatan metodologi yang sama, yaitu integrasi dan interkoneksi.
Semoga bermanfaat wallahu a’lamu bishshowab.
(Disampaikan dalam rangka Seminar “Praksis Paradigma Integrasi Interkoneksi Ilmu dan Transformasi Islamic Studies”, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Convention Hall, 22-23 Oktober 2014).

Dikutip dari: http://uin-suka.ac.id/index.php/page/kolom/detail/30/paradigma-integrasi-dan-interkoneksi-dalam-perspektif-filsafat-islam.

Kamis, 09 Oktober 2014

Makalah Makiyah dan Madaniyah dalam Ulumul Qur'an



MAKALAH
MAKKIYYAH-MADANIYYAH 
DALAM ULUMUL QUR’AN
Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Al-Qur’an dan Al-Hadist
Dosen Pengampu: H. Jauhar Hatta, S. Ag, M. Ag


Disusunoleh :
KelompokV
Alfian Huda                           NIM: 14480092
Farhatun                                NIM: 14480108
Wahyu Handoko                   NIM: 14480113
Heni Musbarokah                 NIM: 14480121




PROGAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDA’IYAH
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
KATA PENGANTAR

            Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Makalah Makkiyah dan Madaniyah dalam Ulumul Qur’an” sebagai tugas mata kuliah Al-Qur’an dan Al-Hadist.
            Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak H. Jauhar Hatta, S.Ag, M.Ag. selaku dosen pengampu pada mata kuliah Al-Qur’an dan Al-Hadist yang telah memberikan bimbingan kepada kami, sehingga makalah ini bisa terselesaikan tepat pada waktunya.
            Melalui makalah ini, kami berusaha memaparkan ilmu dalam mempelajari sejarah Al-Qur’an, di mana pembahasan pada makalah ini lebih menekankan pada tahap-tahap Al-Qur’an diturunkan, khususnya pembahasan pada kota atau tempat Al-Qur’an diturunkan yaitu di Makkah dan di Madinah yang pada akhirnya muncul istilah Makkiyah dan Madaniyah. Tentu pemahaman tentang Makkiyah dan Madaniyah dalam Ulumul Qur’an, menjadi penting untuk dikaji dan diteliti lebih lanjut. Oleh sebab itu kami berharap makalah ini bisa bermanfaat khusunya dalam memahami tentang Makkiyah dan Madaniyah dalam Ulumul Qur’an.
            Sebagai penyusun makalah ini, kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari yang diharapkan. Oleh karena itu, kami selaku penyusun senantiasa meminta kritik dan saran yang membangun, agar kami bisa memperbaiki penulisan kami yang selanjutnya.




Yogyakarta, 25 September 2014


Penyusun        

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Mempelajari Al-Qur’an merupakan hal wajib bagi umat Islam. Dalam kita mempelajari tentang Al-Qur’an tentu tidak akan terlepas dari mempelajari sejarah ilmu Al-Qur’an itu sendiri. Pengetahuan tentang sejarah ilmu Al-Quran tentu juga akan mencakup pembahasan mengenai tahap-tahap Al-Qur’an itu diturunkan. Dalam kita mempelajari tentang tahap-tahap Al-Qur’an diturunkan, tentu akan membuat kita mengenal istilah “makiyyah” dan “madaniyyah”.
Istilah makkiyah dan madaniyah dalam Ulumul Qur’an menjadi penting untuk kita pelajari. Karena dengan mengetahui tentang makkiyah dan madaniyah dalam Ulumul Qur’an, maka secara tidak langsung kita dapat memperdalam ilmu tentang Al-Qur’an khusunya pada tahapan-tahapan Al-Qur’an diturunkan.
Oleh sebab itu, pada pembahasan makalah ini, kita akan membahas tentang makkiyah dan madaniyah, mulai dari pengertian hingga manfaat yang kita dapatkan bila kita memahami lebih jauh tentang makkiyah dan madaniyah.
B.     RumusanMasalah
Rumusan masalah yang dibahas pada penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.   Apakah yang dimaksud dengan makkiyah dan madaniyyah dalam ulumul qur’an?
2.   Apa manfaat mengetahui tentang ilmu makiyyah dan madaniyyah?
C.    Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.   Menjelaskan ilmu makkiyyah dan madaniyyah dalam Ulumul Qur’an.
2.   Menjelaskan manfaat mengetahui makiyyah dan madaniyyah.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Makkiyah dan Madaniyah
1.      Pengertian Makkiyah
      Makkiyah artinya adalah keseluruhan surat-surat dalam Al-Qur’an yang diturunkan di Kota Makkah.[1] Yakni pada masa Nabi Muhammad SAW bermukim di Makkah, yaitu selama 12 tahun 5 bulan 13 hari, dari 17 Ramadhan tahun 41 dari milad hingga Rabi’ul Awal tahun 54 dari Milad Nabi Muhammad SAW.
2.      Pengertian Madaniyyah
      Madaniyah artinya semua surat-surat dalam Al-Qur’an  yang diturunkan di Kota Madinah. Surat-surat yang masuk ke dalam surat Madaniyah adalah surat-surat yang turun ketikaNabi Muhammad SAW sudah melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah, yaitu selama 9 tahun 9 bulan 9 hari, dari permulaan Rabi’ul Awal tahun 54 dari milad Nabi Muhammad SAW sampai 9 Dzulhijjah tahun 63 dari milad Nabi atau tahun 10 Hiiriyah.
B.     Ciri-ciri Makkiyah dan Madaniyah
1.      Ciri-ciri Makkiyah
a)      Ciri-ciri khusus surat Makkiyah
·         Mengandung ayat-ayat Sadjah atau sajadah.[2]
·         Terdapat lafal: kalla.[3]
·         Di dalam surat-surat Makkiyah terdapat seruan dengan kalimat“ya-ayyuhannaasu” yang artinya : ”wahai manusia
·         Menceritakan kisah nabi-nabi dan umat-umat terdahulu, kecuali surat Al-Baqarah.
·         Menceritakan kisah Nabi Adam danIblis, kecuali dalam surat Al-Baqarah.
b)      Ciri-ciri umum surat Makkiyah (aghlabiyah)
·         Ayat-ayatnya pendek dan surat-suratnya pendek-pendek.
·         Lafal kuat dan keras.
·         Mengandung seruan pokok-pokok iman kepada Allah, hari kiamat, dan menggamabarkan keadaan surga dan neraka.
·         Menyeru manusia berperilaku mulia dan berjalan lapang di atas jalan kebaikan.
·         Mencela amal orang musyrik, yakni bertumpahan darah, memakan harta anak yatim, dan mengubur anak perempuan hidup-hidup.
2.      Ciri-ciri Madaniyah
a)      Ciri-ciri khusus surat Madaniyah
·         Menjelaskan tentang hukuman-hukuman tindak pidana, fara-id, hak-hak perdata, peraturan yang bersangkut paut dengan bidang keperdataan, kemasyarakatan dan kenegaraan.
·         Menceritakan tentang orang-orang munafik terkecuali Q.S. Al-Ankabut yang diturunkan di Makkah.
·         Kebanyakan firman Allah dalam surat-surat Madaniyah dimulai dengan lafal; “Yaayyuhalladziinaamanuu” yang artinya “wahai orang-orang yang beriman”.[4]
b)      Ciri-ciri umum surat Madaniyah
·         Surat-suratnya panjang-panjang, sebagaian ayat-ayatnya panjang-panjang, serta jelas menerangkan hukum dengan memakai uslub yang terang.
·         Menjelaskan keterangan-keterangan dan dalil-dalil yang menunjukan kepada hakikat-hakikat keagamaan.
C.    Surat-surat Makkiyah dan Madaniyah
1.      Surat-surat Makkiyah menurut tertib turunnya
Berikut ini adalah surat-surat Makiyyah menurut tertib turunnya berdasarkan keterangan sebagian ulama.
1)      Al- ‘Alaq                           44) Maryam                            
2)      Al-Qalam                          45) Thaha
3)      Al- Muzammil                   46) Al-Waqi’ah
4)      Al-Muddatsir                    47) Asy-Syura
5)      Al- Fatihah                        48) An-Naml
6)      Al- Masad (Al- Lahab)     49) Al-Qashash
7)      At-Takwir                         50) Al-Isra’
8)      Al-A’la                              51) Yunus
9)      Al-Lail                               52) Hud
10)  AL- fajr                             53) Yusuf
11)  Ad-Dhuha                         54) Al-Hijr
12)  Al-Insyirah                        55) Al-An’am
13)  Al-Ashr                             56) Ash-Shaffat
14)  Al-Adiyat                          57) Luqman
15)  Al-Kautsar                                    58) Az-Zumar
16)  At-Takatsur                       59) Saba
17)  Al- Ma’un                         60) Ghafir
18)  Al- Kafirun                       61) Fushshilat
19)  Al-Fil                                 62) Asy-Syura
20)  Al-Falaq                            63) Az-Zukhruf
21)  An-Nas                              64) Ad-Dukhan
22)  Al- Ikhlas                          65) Al-Jatsiah
23)  An-Najm                           66) Al-Ahqaf
24)  Abasa                                67) Al-Dzariyat
25)  Al-Qadar                           68) Al-Ghasyiah                     
26)  Asy-Syamsu                      69) Al-Khaf
27)  Al-Buruj                            70) An-Nahl
28)  At-Tin                               71) Nuh
29)  Al-Quraisy                                    72) Ibrahim
30)  Al-Qari’ah                         73) Al-Anbiya’
31)  Al-Qiyamah                      74) Al-Mukminun
32)  Al-Humazah                      75) As-Sajdah
33)  Al-Mursalat                       76) Ath-Thur
34)  Qaf                                                77) Al-Mulk
35)  Al-Balad                           78) Al-Haqqah
36)  Ath-Thariq                                    79) Al- Ma’arij
37)  Al-Qamar                          80) An-Naba
38)  Shad                                  81) An-Nazi’at
39)  Al-A’raf                            82) Al- Infithar
40)  Al-Jin                                83) Al-Insyiqaq
41)  Yasin                                 84) Ar-Rum
42)  Al-Furqan                          85) Al-Ankabut
43)  Fatir                                   86) Al- Muthaffifin
           Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa surat Al-Muthaffifin (Tathfif) itulah surat yang terakhir turun di Makkah.[5]
           Menurut Al-Khudhary, selain surat-surat yang telah tersebut di atas, ada juga surat-surat yang termasuk dalam golongan Makiyyah, di antaranya:
87) Az-Zalzalah                      90) Al-Insan
                             88) Ar-Ra’d                            91) Al-Bayyinah
                             89) Ar-Rahman
           Surat-surat yang lima buah tersebut ada sebagian ulama memasukannya ke dalam bagian Madaniyyah.
2.            Surat-surat Madaniyah menurut tertib turunnya ialah:
1)       Al-Baqarah                       13) Al-Munafiqun
2)      Al- Anfal                           14) Al-Mujadalah
3)      Ali-Imran                          15) Al-Hujurat
4)      Al-Ahzab                          16) At-Tahrim
5)      Al- Mumtahanah               17) At-Taghabun
6)      An-Nisa                             18) Ash-Shaf
7)      Al-Hadid                           19) Al-Jumua’ah
8)      Al- Qital( Muhammad)     20) Al-Fat-hu 
9)      Ath-Thalaq                        21) Al-Ma’idah
10)  Al- Hasyr                          22) At-Taubah
11)  An-Nur                              23) An-Nashr
12)  Al-Haj
     Menurut pendapat sebagian ahli tafsir, menetapkan bahwa surat-surat yang turun di Madinah sejumlah dua puluh delapan , di antara 23 surat di atas ditambah dengan 5 surat di bawah ini :
1)      Az –Zalzalah                                
2)      Ar-Ra”d
3)      Ar-Rahman
4)      Al-Insan
5)      Al-Bayyinah
       Ibnu Hashshar dalam kitab An-Nasikh wa al-mansukh mengatakan bahwa surat yang disepakati turunnya di Madinah sejumlah 20 surat yaitu :

1)      Al-Baqarah
2)      Ali-Imran
3)      An-Nisa
4)      Al-Maidah
5)      An-Anfal
6)      At-Taubah
7)      An-Nur
8)      Al-Ahzab
9)      Muhammad
10)  Al-Fat-Hu
11)  Al-Hujarat
12)  Al-Hadid
13)  Al Mujadalah
14)  Al-Hasyr
15)  Al-Mumtahanah
16)  Al-Jum”ah
17)  Al-Munafiqun
18)  Ath-Thalaq
19)  At-Tahrim
20)  An-Nashr


                  Surat-surat yang diperselisihkan sejumlah 11 surat yaitu :

1)      Al-Fatihah
2)      Ar-Ra’du
3)      Ar-Rahman
4)      Ash-Shaf
5)      At-Taghabun
6)      At-Tathfif
7)         Al-qadar
8)         Al bayyinah
9)         Az-Zalzalah
10)     Al-Ikhlas
11)     (Al-Mu’auwidzatani)
        Al- Falaq An-Nas

                     Selain dari ayat tersebut , disepakati turunnya di Makkah yaitu sejumlah 82 surat.
D.    Manfaat Mengetahui Ayat Makkiyah dan Madaniyah
1.      Kita dapat membedakan mana ayat Nasikh dan ayat Mansukh.[6]
2.      Mengetahui pensyairatkan hukum dan penurunan Al-Qur’an secara berangsur-angsur.
3.      Mempermudah dalam menafsirkan Al-Qur’an dan memahami pengertiannya.
4.      Mempermudah dalam menghayati ayat-ayat Al-Qur’an dan menirunya dalam menyampaikan dakwah.







BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
           Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan bahwa Makkiyah adalah keseluruhan surat-surat dalam Al-Qur’an yang diturunkan di Kota Makkah, yakni pada masa Nabi Muhammad SAW bermukim di Makkah, yaitu selama 12 tahun 5 bulan 13 hari, dari 17 Ramadhantahun 41 dari milad hingga Rabi’ul Awal tahun 54 dari Milad Nabi Muhammad SAW.
           Sementara Madaniyah adalah semua surat-surat dalam Al-Qur’an  yang diturunkan di Kota Madinah. Surat-surat yang masuk ke dalam surat Madaniyah adalah surat-surat yang turun ketika Nabi Muhammad SAW sudah melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah, yaitu selama 9 tahun 9 bulan 9 hari, dari permulaan Rabi’ul Awal tahun 54 dari milad Nabi Muhammad SAW sampai 9 Dzulhijjah tahun 63 dari milad Nabi atau tahun 10 Hiiriyah.
                 Banyak manfaat bila kita mengetahui ayat makkiyah dan madaniyah. Di antaranya kita dapat membedakan mana ayat Nasikh dan ayat Mansukh, mengetahui pensyairatkan hukum dan penurunan Al-Qur’an secara berangsur-angsur, mempermudah dalam menafsirkan Al-Qur’an dan memahami pengertiannya, serta mempermudah dalam menghayati ayat-ayat Al-Qur’an dan menirunya dalam menyampaikan dakwah.




          




DAFTAR PUSTAKA

Masyhur, Kahar. 1992. Pokok-Pokok Ulumul Qur’an. Jakarta: Rineka Cipta.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2002. Ilmu-Ilmu Al Qur’an. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2002. Sejarah dan PengantarIlmu Al-Qur’an dan Tafsir. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.


          [1]T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an danTafsir, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm. 44.
[2]Ayat sadjah atau sajadah adalah ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur’an yang bila dibaca disunahkan bagi yang membaca dan mendengar untuk melakukan sujud tilawah.
[3]T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al Qur’an, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm. 80.
[4]T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Al Qur’an dan Tafsir, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm. 48.

[5]T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Al Qur’an dan Tafsir, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm. 46.


[6]Pengertian nasikh-mansukh berasal dari kata nasakh. Secara istilah diartikan sebagai proses penghapusan atau pembatalan hukum syar’i yang telah ada untuk kemudian digantikan dengan hukum syar’i yang datang kemudian.